Thursday 25 August 2016

Tentang Kalian Anak-anak 'Bandel' ku




(my story with my beloved primary 5A students)

Ceritanya dimulai setahun yang lalu, tepatnya tahun ajaran 2015-2016. Kepala sekolah meminta saya memilih kelas 5A atau 5B. FYI, dalam benak saya, saya berpikir kelas 5A terdiri dari anak-anak yang mirip seperti anak-anak IPS tapi ini versi anak kecilnya. (Iya, kelas IPS/Commerce Stream class mengingatkan saya pada anak-anak ‘manis’ yang saya didik dulu, yang tentunya sangat TIDAK ASING lagi bagi saya dealing dengan anak-anak yang setipe dengan mereka, haahaahahaa!)

Sementara menimbang-nimbang, di hadapan saya Kepsek sudah terlihat penasaran mengenai pilihan yang akan saya buat. Tanpa pikir panjang saya berkata, “Saya anak-anak yang bandel aja, Bu!”. Beliau terlihat sedikit terkejut lalu tersenyum, “Okelah kalo gitu, tapi Ms. Eko mereka gak bandel kok cuma butuh guidance lebih lanjut.” “Okelah Bu, kita lihat nanti seperti apa mereka kalau saya jadi wali kelasnya”, dengan gaya gemas setengah mati saya menanggapi ucapan Kepsek saya. Sungguh dalam hati saya gemas dengan anak-anak 5A. FYI lagi yah, mereka sewaktu kelas 4 itu ampuuuun dah…guru mana sih yang gak terkuras tenaga dan emosinya mengajar mereka saking mereka itu terlalu ‘aktif’ dah gitu butuh waktu untuk mereka menyerap pelajaran. Fyuuuh… dulu mah guru-guru lebih suka masuk ke kelas 4 yang satunya lagi yang anak-anaknya tertib dan cepat menyerap pelajaran. Beneran, saya juga senang dengan kelas 4 yang satunya lagi itu (yang menjadi kelas 5B).

Keluar dari ruang Kepsek, I said to myself, “What have I done, huh?! Why did I choose 5A?” But, it’s too late, I don’t like to take back my words. 

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Akhirnya masa liburan usai dan saat itulah hari pertama saya masuk ke kelas 5A. Saya tanamkan dari hari pertama, kita ini adalah keluarga, harus saling care dan help each other (entahlah mereka meresapinya atau tidak). Kelas ini terdiri dari hanya 7 anak yang nantinya kadang saya sebut sebagai the 7 dwarfs or the 7 wonders! Kelihatannya piece of cake ya cuma 7 anak but don’t judge the book from its cover. 


Me and my beautiful daughters

With my awesome boys
Seperti yang sudah saya prediksi sebelumnya, ternyata banyak masalah, mulai dari ada anak yang mengamuk, marah-marah, menangis terus, mengganggu kelas, gak mau nulis dll. Satu-satu masalah terselesaikan.  Pendekatan saya ke mereka yang masih berumur antara 9-10 tahun itu lebih kepada bicara dan sharing. Kalau mereka terus-terusan merasa paling benar sendiri barulah saya akan sangat tegas memperingatkan mereka atau kalau sudah tidak bisa saya tangani akan saya bawa ke Kepsek untuk dibina lebih lanjut.

Benar-benar butuh waktu dalam mengerti mereka. Sungguh, label bandel sudah teramat sangat melekat di kelas itu. Padahal sesudah beberapa bulan bersama, saya melihat mereka itu smart.
Awalnya anak-anak ini punya masalah masing-masing yang mereka butuh sekali dibantu dan diperhatikan untuk go through their problem. Saya gak akan notice mereka ada masalah atau ganjalan di hati kalau saya marah-marah terus sama mereka. Sering saya ajak ngobrol dan berdiskusi dengan orang tuanya. Karena itu ada untungnya juga mereka bikin masalah jadi saya bisa panggil ortunya dan dapat informasi lebih dalam dari mereka. Itu jadi bahan saya untuk mengerti dan membimbing mereka dengan lebih baik.
We are the family of Primary 5A

Ada beberapa dari mereka merasa sendirian di kelas, tidak punya teman. Sedih deh kalau dengar cerita langsung dari hati mereka. Pas mereka cerita tu benar-benar dari curahan terdalam hati mereka, seperti, “I have no one to play with.” “I act silly and noisy to attract other people so they would pay attention and play with me.” “I am shy to make friends with others because of my appearance or my bad academic performance.”

Huhuhu…ternyata selama ini mereka bandel itu karena cari perhatian supaya ada yang mau berteman dengan mereka. Baiklah anak-anakku, let me be your friends, let’s joke around together! Mulailah saya lebih dekat dan lebih ‘bermain’ bersama mereka, maksudnya bermain itu kadang saya bercanda, godain, cubit2 pipi atau elus2 bahu atau kepala mereka just for them to know that I am there for them.
Saya bicarakan masalah mereka di kelas. Saya katakan kita satu keluarga. Kalau keluarga gimana? Harus saling perhatian gak? Ada lho teman-teman kita yang kesepian karena merasa gak ada teman main. Kalian senang kan kalau punya teman bermain. Yuk kita dekatin teman-teman kita yang kelihatannya sendirian. Don’t let them sad, because they are our family.

Perlahan tapi pasti, persahabatan mereka terjalin dengan manisnya. Walaupun cekcok kecil tetap menyertai tapi satu hal mereka tahu bahwa mereka satu keluarga di 5A dan mereka saling memaafkan. Mereka lucu lho, kalau orang dewasa kan susah ngaku kalau punya salah, kalau mereka mah dengan lapang dada mengakui kesalahan mereka walaupun pada awalnya kami struggle banget untuk membangun kebiasaan ini. Biasalah anak-anak selalu lempar kesalahan ke satu sama lain. Kita yang jadi gurunya harus panjang usus dengerin cerita mereka. Tapi lama kelamaan mereka tahu caranya menginstropeksi diri mereka sendiri, bahwa mereka mungkin juga ada kesalahan. Kejujuran terhadap diri sendiri membuat saya bangga. Tapi saya tahu bahwa ini bukan tujuan terakhir. Sesudah ini, memelihara sikap mereka yang jadi tantangan berikutnya.

Anak-anak itu ketika hatinya sudah terbuka mudah dibentuk ke arah yang lebih baik. Sesudah berjalan beberapa waktu, saya gak terlalu banyak usaha untuk mengarahkan mereka begini begitu karena mereka sudah berjalan dengan sendirinya. Kadang mereka bisa jadi so sweet dan so care ke guru-gurunya.  Beberapa guru pernah dibuat terkejut oleh betapa care nya mereka. Saya sampe kaget, masa iya murid-muridku segitunya amat. So sweet banget mereka. Yah walopun laporan tetap ada tentang mereka yang berisik dan ngobrol selama pelajaran sampai guru yang sedang mengajar kecewa berat dengan mereka. Itulah anak-anak. Guru memang diminta bersabar membimbing mereka menuju kedewasaan. Itulah salah satu tujuan pendidikan. Masih ingatkan psikologi pendidikan? Seorang guru itu membimbing anak-anak dari ketidakdewasaan menuju kedewasaan.

Kelas Primary 5A berangsur berubah menjadi kelas yang care to each other, they care to their parents, teachers and friends. Every one now has friends. Every one now has strong bond to each other. Jokes are there to brighten our days. Study is our struggle to prove ourselves. Always be patient and pray to god.
Bersama mereka saya belajar kalau kita percaya mereka bandel, mereka akan bandel beneran. Kalau kita percaya mereka baik, mereka akan benar-benar baik (padahal mereka gak tau lo yang kita percayai apa). Saya juga belajar bahwa ketika kita perhatian dan saya sama anak-anak maka mereka akan lebih perhatian dengan kita. Dan mereka bisa menjadi sangat so sweet sekali. Ya ampuuun…nulis ini sambil mata berkaca-kaca… Saya bersyukur akan perubahan mereka…kalian bukan bandel tapi too sweet to handle..

Thank you for learning together with me, for the laughter we had, for your sweetness, for your willingness to believe in me as your class teacher. Thank you for touching my heart with your pure love…

Good luck my primary 5A, now you are primary 6!
 


We are Primary 6 now!